Selamat Datang di SDN Rancasari UPTD Pendidikan Kec. Tanjungsiang Kab. Subang

Rabu, 18 Februari 2015

Bahagialah Engkau ...Guru !!!!

Rasanya kita patut bersyukur dan merasa bangga mampu berpartisipasi untuk turut serta mewujudkan cita-cita pendidikan di Indonesia. Selain itu, berbagai perhatian yang diberikan Pemerintah telah kita rasakan bersama dan sangat kental terasa semenjak tahun 2000, dimana pada tahun itu negara kita masih memendam krisis yang mendera dalam berbagai segi-segi kehidupan bangsa pasca lengsernya orde baru.
Pasca pergantian orde baru semua orang menyadari terjadinya krisis berkepanjangan salah satu sebagai dampak dari pendidikan yang belum berhasil secara optimal, tak heran jika setiap orang menaruh dan berharap besar pendidikan merupakan salah satu tumpuan untuk terlepas dari berbagai himpitan krisis. Hal ini sangatlah wajar karena pendidikan merupakan serangkaian upaya dalam mendidik watak, budi, akhlak dan kepribadian manusia. Dengan demikian, pendidikan diharapkan dapat menghasilkan generasi yang cakap dalam berbagai dimensi kemanusiannya, dengan tujuan akhir mampu membawa bangsa dan negara ini dalam suatu kemajuan dan berkeadilan.
Namun sangat disayangkan proses pendidikan tidak dapat menghasilkan produk secara instan tetapi membutuhkan waktu dan kerja keras terlebih jika komponen didalamnya belum mendapat pembaharuan masih peninggalan budaya-budaya lama yang sudah usang. Disinilah muncul kesadaran perlunya pendidikan sebagai investasi di masa depan, apalagi jika kita bandingkan dengan negara tetangga yang bisa dibilang cukup berhasil. Dulu banyak orang Malaysia yang belajar tentang ilmu keguruan di Indonesia, tetapi sekarang mungkin sedikit terbalik, kitalah yang berguru kepada Malaysia. Selain itu, begitu banyaknya WNI yang mencari kehidupan di Malaysia sebagai tenaga kerja kasar, juga sebagai salah satu indikator SDM di negara kita sebagian besar masih rendah dibanding Malaysia.
            Menjelang awal-awal reformasi, pencarian jatidiri bangsa masih bersifat “Kafah” artinya lebih banyak mencari siapa yang bersalah, dan bukan bagaimana memperbaiki yang salah. Saling tuding dan tebar jasalah yang sering kita saksikan, muncullah kebosanan dan ketidak percayaan dari masyarakat, yang pada akhirnya timbul keinginan melepaskan diri dari kesatuan bangsa (disintegrasi) sebagai wujud keputus asaan. Pada sisi lain, reformasi yang telah keblablasan menimbulkan aura kebebasan yang tidak  bertanggungjawab. Tidak semestinya penyampaian pendapat dengan alih-alih perbaikan segi-segi kehidupan disampaikan dengan cara-cara pemaksaan, anarkis, dan kriminilitas. Kondisi yang lebih memprihatinkan, masyarakat kita telah banyak pudar nilai kebersamaan, lebih mementinkan pribadi dan golongan. Sangat ironis sekali ketika kita menyaksikan tawuran mahasiswa, pelajar bahkan Polisi VS TNI yang menyeruak saat ini.
Inilah sebenarnya tantangan terbesar bagi kita bersama termasuk pendidikan sebagai garda terdepan pencetakan karakter dan budi pekerti bangsa. Jika kita cermati, memang ada benarnya juga persoalan-persolan bangsa ini salah satunya lahir dari proses pendidikan yang tidak seimbang, dimana lebih menekankan penguatan intelektual semata. Artinya pendidikan kurang memberikan penguatan terhadap pembentukan hakikat manusia itu sendiri secara menyeluruh. Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memilki daya cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau juga mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.
Proses pendidikan itu sendiri berlangsung tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah semata, ada keluarga dan masyarakat yang turut serta membentuk kepribadian individu. Namun, karena sekolah sebagai lembaga formal dimana proses pendidikan lebih nyata terlihat, komponen gurulah yang paling sering dipersalahkan. Hal ini wajar-wajar saja, karena guru adalah  ujung tombak dalam proses pendidikan dan menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara proses pendidikan dengan harapan akan masa depan dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Namun kita juga tidak bisa menutup mata masih banyak permasalahan seputar guru, seperti halnya kurangnya respon terhadap upaya pembaruan pendidikan dan masih lemahnya motivasi untuk meningkatkan dan penguatan kompetensi.
Terlepas dari permasalahan yang bersifat personal guru, kita melihat begitu berat tugas dan tanggungjawabnya. Maka tak heran jika insan-insan pendidikan  yang dipelopori PGRI menuntut adanya peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi dan memposisikan guru sebagai pekerjaan professional. Tuntutan tersebut akhirnya mendapat respon Pemerintah dengan lahirnya Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-Undang tersebut secara esensial menempatkan guru sebagai pekerjaan professional. Sebagai konsekuensi logisnya guru harus memiliki standar kualifikasi pendidikan minimum S.1 dan memiliki empat standar kompetensi, yaitu professional, pedagogic, social, dan pribadi. Dengan demikian, kedepannya tidak sembarang orang bisa menjadi guru, dan tugas mendidik hanya boleh dipegang oleh guru bersertfikat pendidik sebagai bukti dari keempat standar yang dipersyaratkan. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban memberikan tunjangan profesi bagi guru yang bersangkutan.

Inilah salah satu kebanggan kita terhadap perhatian yang diberikan pemerintah bagi dunia pendidikan Indonesia khususnya menyangkut guru. Di masa-masa yang akan datang guru akan sejahtera dan terlindungi. Dalam kondisi itulah, diharapkan guru lebih berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan penuh terhadap proses pendidikan yang berkualitas bagi kemajuan para peserta didiknya secara menyeluruh. Namun sekali lagi, keberhasilan pendidikan di negara ini seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa dan bukan hanya pada guru semata. Dengan adanya kesepahaman bersama tentang pendidikan, maka  kelak negara ini akan menjadi negara yang maju dan diperhitungkan di dunia …semoga !!!!

Sabtu, 14 Februari 2015

Strategi Permainan dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar

Bermain merupakan bagian yang tak  terpisahkan dari kehidupan setiap orang, baik itu bayi, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa. Tetapi sudah barang tentu jenis dan sifat permainannya berbeda–beda  disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, bakat maupun minat masing-masing. Dengan cara bermain tersebut kita mendapat kegembiraan atau kesenangan, bahkan lebih jauh melatih keterampilan-keterampilan tertentu baik yang bersifat fisik maupun jasmaniah, sebab dalam suatu permainan terdapat tantangan, masalah, atau rintangan, yang kesemuanya perlu dihadapi dengan menggunakan keterampilan demi suatu kepuasan/kemenangan.
        Jika tantangan, masalah, atau rintangan tersebut sengaja dikondisikan untuk memperagakan atau menirukan suatu konsep yang bersifat abstrak atau sulit dijelaskan, dan mengandung unsur persaingan/perlombaan serta hiburan dalam konteks pembelajaran, itulah yang disebut strategi permainan. (Suyatno, 2005 : 12-13)

        Menurut teori permainan penglepasan  atau disebut juga teori kelebihan tenaga menyatakan bahwa, dalam diri anak-anak terdapat kelebihan tenaga. Oleh karena itu, anak-anak menyalurkan kelebihan tenaga tersebut dalam bentuk bermain-main (Spencer, dalam Zulkifli, 1992 : 39). Teori ini sejalan dengan tahap perkembangan Sekolah Dasar (SD), di mana hampir sebagian besar waktu yang digunakan anak usia SD untuk bermain baik di sekolah maupun dirumah, sehingga memasukkan unsur permainan dalam proses pembelajaran akan memberikan pengalaman belajar siswa yang meyenangkan. Selain itu, jika proses pembelajaran hidup dan penuh tawa potensi rasa keingintahuan siswa akan keluar dan berkembang secara alamiah (Loomans & Kolberg dalam DePorter, 2004).

PEMBELAJARAN AKTIF, KREATIF, EFEKTIF DAN MENYENANGKAN (PAKEM)

Berbeda dengan pabrik yang bahan mentahnya benda mati, sekolah menerima siswa sebagai masukan  yang berupa mahkluk hidup dengan bakat, keinginan, dan motivasi. Oleh karena itu proses pembelajaran jauh lebih rumit  perlu dirancang untuk mengaktifkan dan mengembangkan kreatifitas siswa sehingga efektif namun tetap menyenangkan.
Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) dikenal sebagai model pembelajaran yang menitikberatkan pada penciptaan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Peran aktif dari siswa sangat penting dalam rangka pembentukan generasi yang kreatif, mampu menghasilkan sesuatu bagi dirinya dan orang lain. Kreatif juga dimaksudkan agar guru menciptakan kegiatan belajar yang beragam mampu memenuhi tingkat kemampuan siswanya dalam suasana memyenangkan, sehingga siswa memusatkan perhatiannya secara penuh untuk belajar.
Kondisi aktif, kreatif, dan menyenangkan tidaklah cukup jika proses pembelajaran tidak efektif, yaitu tidak meghasilkan apa yang harus dikuasai siswa setelah proses pembelajaran berlangsung. Bahkan pembelajaran yang hanya aktif dan menyenangkan tetapi tidak efektif, maka pembelajaran tak ubahnya seperti bermain biasa.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melaksanakan PAKEM, diantaranya sebagai berikut :
1.      Memahami sifat yang dimiliki anak
Dalam kedaan normal anak memiliki sifat ingin tahu dan berimajinasi, kedua sifat tersebut merupakan modal bagi tumbuh berkembangnya sikap kritis dan kreatif, dengan memberikan pertanyaan yang menantang, mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan sederhana, dan memberikan pujian terhadap hasil karya anak merupakan upaya yang dapat dikembangkan oleh guru untuk memupuk rasa  ingin tahu dan kreatif pada diri siswa.
2.      Mengenal anak secara perorangan
Setiap anak berasal dari latar belakang dengan kemampuan belajar yang berbeda. Perbedaan ini perlu diperhatikan dan harus tercermin dalam kegiatan pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan perbedaan yang dimiliki anak ini dengan cara tutor sebaya, sehingga ketuntasan belajar anak menjadi lebih merata dan optimal.
3.      Memanfaatkan perilaku anak dalam pengorganisasian kelas
Pada dasarnya anak selalu bermain berpasangan atau berkelompok. Perilaku ini dapat dimanfaatkan dalam pengorganisasian kelas dengan cara belajar kelompok, sehingga  anak akan lebih mudah berinteraksi dan bertukar pikiran, tetapi perlu juga diimbangi dengan pemberian tugas secara perorangan agar bakat individunya menjadi lebih berkembang.
4.      Menata ruang kelas sebagai sumber belajar yang menarik
Ruangan kelas yang tertata dengan rapi secara langsung akan menumbuhkan minat belajar pada anak. Untuk menatanya dapat dilakukan dengan memajang setiap hasil pekerjaan siswa baik berupa gambar, tulisan, atau model. Selain itu hasil pekerjaan yang dipajangkan diharapkan akan memotiivasi  siswa juga sebagai inspirasi belajar bagi yang lainnya.
5.      Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar
Lingkungan dapat berperan sebagai media belajar dan objek kajian (sumber belajar) yang sangat kaya untuk bahan belajar anak. Lingkungan itu sendiri dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, sosial, dan budaya. Guru dapat memilihnya yang sesuai  dengan tujuan, materi, dan kondisi. Bahkan untuk menghemat biaya dan waktu guru dapat membawa atau mendatangkan sumber belajar dari lingkungan ke dalam kelas.
6.      Memberikan umpan balik
Pemberian umpan balik merupakan salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa, yang dimaksudkan untuk memberikan penguatan kepada siswa. Selain itu dengan pemberian umpan balik secara santun siswa akan lebih percaya diri dalam melaksanakan tuga-tugas belajar selanjutnya.
7.      Membedakan aktif fisik dan aktif mental

Dalam proses pembelajaran terkadang guru merasa puas jika siswa sibuk bekerja dan duduk berkelompok. Sebenarnya aktif mental dalan proses pembelajaran lebih dinginkan daripda aktif fisik. Aktif mental dapat dicermati jika siswa aktif bertanya, mengemukakan dan menanggapi gagasan. Suasana pembelajaran tersebut akan tercipta dalam kondisi menyenangkan, dimana anak terbebas dari rasa takut dan malu baik kepada guru atau teman sekelas.

Kamis, 12 Februari 2015

KURIKULUM 2013, apa, mengapa, bagaimana

Barangkali suatu hal yang lumrah manakala suatu kebijkan baru selalu mendapat tanggapan yang pro dan kontra. Begitu pula halnya ketika Kurikulum 2013 digulirkan, ada yang menolak, ada yang menerima, bahkan ada yang menaggapinya biasa-biasa saja. Penulis pikir itu syah-syah saja, dengan catatan semua memiliki alasan yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlepas dari hiruk pikuk baik yang pro maupun kontra, ada baiknya kita memahaminya dulu lebih mendalam, karena pepatah bilang “tak kenal maka tak sayang”, dengan memahami lebih jauh dan mendalam niscaya kita akan lebih sayang terhadap Kurikulum 2013.
Dalam percaturan di bidang pendidikan istilah kurikulum bukanlah barang baru. Bagi guru, kepala sekolah, pengawas, dan para pejabat pendidikan yakin hapal betul apa itu kurikulum. Oleh karena itu, tugas penulis semakin ringan karena tidak perlu menjelaskan secara harfiah apa itu kurikulum. Tetapi yang jelas kurikulum bukanlah hanya sekedar Program pembelajaran, RPP, SK, dan KD tetapi memiliki makna yang luas baik yang tersirat maupun yang tersurat, sehingga definisi kurikulum secara pasti memang sulit di temukan. Penulis sendiri mengasosiasikan kurikulum seperti jalan yang akan ditempuh untuk menuju suatu tujuan. Agar mencapai tujuan tersebut dengan selamat, perlu memperhatikan rambu-rambu yang terpampang di setiap trotoar jalan. Dalam ilustrasi tersebut guru berfungsi ganda sebagai sopir dan kondektur, para siswa sebagai penumpang. Tugas sopir membawa penumpang ke tempat tujuan, dan selama perjalanan kondekturlah yang melayani penumpang. Kepiawaian sopir dan kondektur diperlukan agar dalam perjalanan menyenangkan dan tidak membosankan.
Selanjutnya, mengapa kurikulum selalu mengalami perubahan ?, jawabannya, mari kita simak lanjutan cerita di atas tentang sopir, kondektur, dan penumpang. Sebuah bis jurusan Subang – Jakarta selalu memakai jalan umum, lama kelamaan jalan tersebut akan rusak dan bertambah macet karena pertambahan volume kendaraan. Kondisi tersebut sudah pasti membuat penumpang tidak nyaman dan putus asa. Sementara ada juga jalan tol yang menuju Jakarta. Tentu pembaca sependapat bis jurusan Subang – Jakarta tersebut akan lebih efektif dan efisien kalau melewati jalan tol dibanding jalan umum. Dengan demikian, perubahana kurikulum diperlukan agar perjalanan lebih efektit, efisien dan menyenangkan bagi penumpang.  
Memasuki jalan tol tentu bukanlah hal mudah terutama bagi para sopir yang biasa menggunakan jalan umum biasa, banyak hal yang harus dipersiapkan. Misal kondisi kendaraan, phisik sopir, karena kurang kesiapan tidak menutup kemungkinan akan membahayakan penumpang yang pada ujungnya akan mengakibatkan kecelakaan. Disinilah sebenanya mengapa kebijakan kurikulum 2013 menjadi sangat ramai banyak dipersoalkan.
Kurikulum 2013 secara prinsip masih satu genetic dengan kurikulum sebelummnya, yakni kurikulum 2004 dan kurikulum 2006. Perbedaannya, dalam Kurikulum 2013 lebih ditonjokan pada aspek afektik dengan penilaian nontes dan portofolio. Dengan demikian idealnya peserta didik pada jenjang SD tidak teralalu dibebani dengan hapalan tetapi dipersiapkan untuk memiliki budi pekerti atau karakter yang baik, sebagai bekal mengikuti pendidikan pada jenjang berikutnya.

Bisa dikatakan juga Kurikulum 2013 ingin mengubah pola pendidikan yang berorientasi pada hasil ke arah pola pendidikan sebagai proses. Pendidikan berbasis proses lebih banyak melibatkan peserta didik untuk bereksplorasi untuk menggali dan membentuk potensinya melalui penalaran ilmiah. Ketika tujuan ini tercapai niscaya para generasi kita di masa – masa yang akan tumbuh kembang menjadi insane-insan yang siap beradabtasi, mengahdapai berbagai kemungkinan dalam memasuki era globalisasi yang penuh tantangan……semoga !

Dokumentasi-Dokumentasi