Rasanya kita patut bersyukur
dan merasa bangga mampu berpartisipasi untuk turut serta mewujudkan cita-cita
pendidikan di Indonesia. Selain itu, berbagai perhatian yang diberikan Pemerintah
telah kita rasakan bersama dan sangat kental terasa semenjak tahun 2000, dimana
pada tahun itu negara kita masih memendam krisis yang mendera dalam berbagai segi-segi
kehidupan bangsa pasca lengsernya orde baru.
Pasca pergantian orde baru semua orang menyadari
terjadinya krisis berkepanjangan salah satu sebagai dampak dari pendidikan yang
belum berhasil secara optimal, tak heran jika setiap orang menaruh dan berharap
besar pendidikan merupakan salah satu tumpuan untuk terlepas dari berbagai himpitan
krisis. Hal ini sangatlah wajar karena pendidikan merupakan serangkaian upaya
dalam mendidik watak, budi, akhlak dan kepribadian manusia. Dengan demikian, pendidikan
diharapkan dapat menghasilkan generasi yang cakap dalam berbagai dimensi
kemanusiannya, dengan tujuan akhir mampu membawa bangsa dan negara ini dalam
suatu kemajuan dan berkeadilan.
Namun sangat disayangkan proses pendidikan tidak dapat
menghasilkan produk secara instan tetapi membutuhkan waktu dan kerja keras
terlebih jika komponen didalamnya belum mendapat pembaharuan masih peninggalan
budaya-budaya lama yang sudah usang. Disinilah muncul kesadaran perlunya
pendidikan sebagai investasi di masa depan, apalagi jika kita bandingkan dengan
negara tetangga yang bisa dibilang cukup berhasil. Dulu banyak orang Malaysia
yang belajar tentang ilmu keguruan di Indonesia, tetapi sekarang mungkin
sedikit terbalik, kitalah yang berguru kepada Malaysia. Selain itu, begitu
banyaknya WNI yang mencari kehidupan di Malaysia sebagai tenaga kerja kasar, juga
sebagai salah satu indikator SDM di negara kita sebagian besar masih rendah
dibanding Malaysia.
Menjelang awal-awal reformasi,
pencarian jatidiri bangsa masih bersifat “Kafah”
artinya lebih banyak mencari siapa yang bersalah, dan bukan bagaimana memperbaiki
yang salah. Saling tuding dan tebar jasalah yang sering kita saksikan, muncullah
kebosanan dan ketidak percayaan dari masyarakat, yang pada akhirnya timbul
keinginan melepaskan diri dari kesatuan bangsa (disintegrasi) sebagai wujud keputus asaan. Pada sisi lain, reformasi
yang telah keblablasan menimbulkan aura kebebasan yang tidak bertanggungjawab. Tidak semestinya penyampaian
pendapat dengan alih-alih perbaikan segi-segi kehidupan disampaikan dengan
cara-cara pemaksaan, anarkis, dan kriminilitas. Kondisi yang lebih
memprihatinkan, masyarakat kita telah banyak pudar nilai kebersamaan, lebih
mementinkan pribadi dan golongan. Sangat ironis sekali ketika kita menyaksikan
tawuran mahasiswa, pelajar bahkan Polisi VS TNI yang menyeruak saat ini.
Inilah sebenarnya tantangan terbesar bagi kita bersama
termasuk pendidikan sebagai garda terdepan pencetakan karakter dan budi pekerti
bangsa. Jika kita cermati, memang ada benarnya juga persoalan-persolan bangsa
ini salah satunya lahir dari proses pendidikan yang tidak seimbang, dimana
lebih menekankan penguatan intelektual semata. Artinya pendidikan kurang
memberikan penguatan terhadap pembentukan hakikat manusia itu sendiri secara
menyeluruh. Menurut Ki Hajar Dewantoro, manusia memilki daya cipta, karsa dan
karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitik beratkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidak utuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau juga mengatakan
bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual saja hanya akan menjauhkan
peserta didik dari masyarakatnya.
Proses pendidikan itu
sendiri berlangsung tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah semata, ada
keluarga dan masyarakat yang turut serta membentuk kepribadian individu. Namun,
karena sekolah sebagai lembaga formal dimana proses pendidikan lebih nyata
terlihat, komponen gurulah yang paling sering dipersalahkan. Hal ini
wajar-wajar saja, karena guru adalah ujung tombak dalam proses pendidikan dan
menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara proses pendidikan
dengan harapan akan masa depan dalam pembentukan kepribadian peserta didik. Namun
kita juga tidak bisa menutup mata masih banyak permasalahan seputar guru,
seperti halnya kurangnya respon terhadap upaya pembaruan
pendidikan dan masih lemahnya motivasi untuk meningkatkan dan penguatan
kompetensi.
Terlepas dari permasalahan
yang bersifat personal guru, kita melihat begitu berat tugas dan tanggungjawabnya.
Maka tak heran jika insan-insan pendidikan yang dipelopori PGRI menuntut adanya peraturan
perundang-undangan yang dapat melindungi dan memposisikan guru sebagai
pekerjaan professional. Tuntutan tersebut akhirnya mendapat respon Pemerintah
dengan lahirnya Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Undang-Undang
tersebut secara esensial menempatkan guru sebagai pekerjaan professional.
Sebagai konsekuensi logisnya guru harus memiliki standar kualifikasi pendidikan
minimum S.1 dan memiliki empat standar kompetensi, yaitu professional, pedagogic,
social, dan pribadi. Dengan demikian, kedepannya tidak sembarang orang bisa
menjadi guru, dan tugas mendidik hanya boleh dipegang oleh guru bersertfikat
pendidik sebagai bukti dari keempat standar yang dipersyaratkan. Selain itu,
pemerintah juga berkewajiban memberikan tunjangan profesi bagi guru yang
bersangkutan.
Inilah
salah satu kebanggan kita terhadap perhatian yang diberikan pemerintah bagi
dunia pendidikan Indonesia khususnya menyangkut guru. Di masa-masa yang akan datang
guru akan sejahtera dan terlindungi. Dalam kondisi itulah, diharapkan guru
lebih berkonsentrasi dalam memberikan pelayanan penuh terhadap proses
pendidikan yang berkualitas bagi kemajuan para peserta didiknya secara
menyeluruh. Namun sekali lagi, keberhasilan pendidikan di negara ini seharusnya
menjadi tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa dan bukan hanya pada guru
semata. Dengan adanya kesepahaman bersama tentang pendidikan, maka kelak negara ini akan menjadi negara yang
maju dan diperhitungkan di dunia …semoga !!!!